Sebagai istri/ibu/manager rumah tangga/freelancer, aku juga harus tahu diri kalau peranku banyak, sedangkan aku cuma punya 24 jam sehari. Jadi, aku akan ambil kerjaan yang memang masuk ke load harianku. Dengan sadar sama kemampuan diri, managing waktu jadi lebih possible.
Banyak yang berpikiran kalau setelah berumah tangga akan sulit untuk tetap menjalankan passion sekaligus berkarir. Hal ini terutama dirasakan ketika memiliki anak. Tapi, apakah memang mustahil untuk tetap bekerja, tanpa menomorduakan keluarga? Salah seorang profesional di bidang creative content, Diah Lucky Natalia, yang akrab disapa Lucky, membuktikan hal itu mungkin untuk dilakukan.
Sebagai inspirasi teman BCM, yuk simak wawancara dengan mba Lucky berikut ini.
Baca juga: 4 Tipe Kuis untuk Membuat Content yang Interaktif
Hi mba Lucky! Sebelum berkeluarga, boleh diceritakan terlebih dahulu perjalanan karirnya?
Aku mulai kerja sejak 2007, sebelum lulus kuliah. Awalnya, aku kerja jadi asisten editor di sebuah publisher buku di Jakarta. Setelah lulus, aku dapat tawaran mengajar Bahasa Indonesia di sebuah sekolah swasta internasional di Jakarta Barat. Di sana, aku hanya satu tahun karena merasa butuh challenge yang lebih besar. Setelah, itu aku banting setir ke dunia jurnalistik, penulisan, dan editing sampai sekarang.
Baca juga: Tips Editing & Proofreading yang Perlu Diketahui Pemula
Apa sih alasan mba Lucky akhirnya memutuskan untuk tetap berkarir, dengan menjadi seorang freelancer? Apakah karena passion?
Pada dasarnya, aku tipe orang yang punya banyak energi. Jadi, pekerjaan back office itu kurang cocok buatku. Aku suka yang dinamis. Jadi, ketika aku memutuskan untuk resign dan jadi freelance sembari mengurus keluarga, aku tahu dari awal kalau aku nggak akan betah hanya di rumah dengan rutinitas yang itu-itu aja.
Jadi, aku mutusin untuk tetap ambil project-project yang bisa aku kerjakan di rumah. Selain untuk variasi kegiatan, pekerjaan ini bikin aku tetap bisa mengasah otak dan up to date sama isu-isu terkini.
Perbedaan apa yang mba Lucky rasakan ketika dulu menjadi karyawan full time dan kini menjadi freelancer?
Perbedaan yang paling jelas tentu gaji yang ngga menentu. Kalau dulu kerja full time, sebanyak dan sesedikit apa loadnya, gajinya sama. Kalau sekarang, pendapatan bulanan tergantung banyaknya pekerjaan yang kita ambil tiap bulan. Enaknya, jadi freelance bisa atur waktu sendiri. Buat aku, ini pas dengan kondisiku sekarang yang udah berkeluarga dan punya prioritas lain selain berkarier di kantor.
Bagaimana cara mba menjaga keseimbangan antara menuntaskan pekerjaan, dengan tetap memberikan perhatian pada anak dan suami?
Aku ngga punya cara ampuh yang aku lakuin sendiri. Keseimbangan itu bisa terjadi kalau ada komunikasi dan kerja sama sama suami. Jadi, selama ini aku terbantu banget karena suami aku mau support. Aku mau ambil kerjaan sebanyak apa pun, suami dukung dan melakukan real action. Misalnya, ketika aku harus meeting atau ada deadline yang harus dipenuhi, suamiku mau take over urusan anak atau rumah, jadi aku bisa fokus sejenak ke kerjaanku. FYI, suamiku kebetulan WFA, jadi kami memang sehari-hari handle urusan rumah dan anak bareng.
Sebagai istri/ibu/manager rumah tangga/freelancer, aku juga harus tahu diri kalau peranku banyak, sedangkan aku cuma punya 24 jam sehari. Jadi, aku akan ambil kerjaan yang memang masuk ke load harianku. Dengan sadar sama kemampuan diri, managing waktu jadi lebih possible.
Anak-anak mba Lucky kan masih kecil, bahkan ada yang masih bayi. Bagaimana cara agar mba Lucky bisa fokus tidak terdistraksi dengan anak-anak ketika menyelesaikan pekerjaan?
Ada beberapa trik yang aku lakukan untuk bisa juggling between works and family.
- Tidur lebih malam dan bangun lebih pagi. Ini aku lakukan kalau ada pekerjaan yang memang tenggatnya mepet. During daytime agak susah fokus 100 persen karena distraksi ada di mana-mana Jadi, aku ambil waktu-waktu hening ketika satu rumah masih tidur.
- Hire a helper. Untuk ibu yang masih ingin tetap bisa produktif sembari mengurus keluarga, ada helper di rumah akan sangat membantu. Sekarang aku hire nanny yang memang khusus pegang baby, sementara anak pertama lebih banyak aku dan suami yang urus. Setidaknya, ketika jam kerja, kebutuhan baby tetap terpenuhi sementara aku tetap punya waktu untuk handle kerjaan.
Apakah pernah sang anak pernah protes karena mba Lucky sibuk bekerja? Jika ya, bagaimana cara mba memberikan pengertian?
Waktu aku masih kerja full time dan harus WFO, anak pertamaku sering protes. Tapi, seiring bertambahnya usia, dia udah mulai paham dan melihat itu seperti rutinitas biasa. Sekarang, ketika aku full di rumah dan kerja dari rumah, dia hanya protes sesekali ketika minta ditemani main, tapi aku dan suami masih sibuk kerja.
Biasanya kami akan mulai senggang di sore hari dan bisa aja anak-anak main di sekitaran rumah, entah sekadar jalan-jalan sore, naik sepeda, main di taman, atau makan malam di luar. Jadi, anakku ngga terlalu protes karena tahu kalau menjelang sore orang tuanya sudah available.
Ditengah kesibukan mba Lucky, adakah hari/waktu khusus me-time, atau hal apa yang biasanya mba lakukan untuk mencegah burn out?
Yes! Me time itu perlu, ya. Aku rutin me time tiap minggu di weekend (kalau ngga malas keluar rumah). Biasanya aku akan pergi sendiri, entah nonton bioskop, ke salon, spa, belanja, atau janji ketemu teman. Suamiku tipikal orang rumahan, jadi dia memilih untuk santai di rumah, melakukan hobinya sendiri. Jadi, momen ini aku pakai untuk pergi sejenak melakukan hal-hal yang bisa bikin aku relaks dan recharged.
Pesan mba Lucky untuk teman BCM di luar sana yang juga sudah berumah tangga, tetapi masih ingin berkarir di industri kreatif?
Peran ibu rumah tangga bukan peran yang gampang. Load-nya luar biasa. Mengalahkan load pekerjaan full time kantoran. Bahkan, ada studi yang bilang kalau peran IRT ini adalah peran dengan tingkat stres yang sangat tinggi. Sementara itu, perempuan, once menikah dan memiliki anak, peran ibu dan istri melekat selamanya di dirinya. Jadi, tanpa punya karier kantoran, dia udah punya dua role penting yang “beban kerjanya nggak main-main”.
Jadi, kalau masih mempertimbangkan untuk tetap berkarier, entah itu freelance atau full time, satu hal yang harus diingat: set no expectation. Kadang kala para ibu terlalu memasang standar yang ketinggian. Misalnya, anak harus sudah selesai mandi pagi-pagi, harus selalu masak sendiri untuk menjamin kecukupan gizi keluarga, rumah harus kinclong setiap saat. Well, kalau buat rakyat jelata, kondisi ini sangat mustahil terwujud. Unless kita istrinya Raffi Ahmad, better set ekspektasi yang wajar-wajar aja.
Dengan mindset kalau nggak apa-apa rumah ngga kinclong terus, ngga apa-apa kalau sesekali pesen makan via ojek online, ngga apa-apa kalau anak telat mandi, dll, kita jadi bisa lebih objektif. Kita jadi bisa menentukan skala prioritas, mana yang lebih penting dilakukan like, right now, dan mana yang bisa dikerjakan nanti sore, besok, lusa, atau minggu depan.
Selain itu, para ibu biasanya suka menyimpan guilty feeling. Misalnya, seharian kerja di kantor sehingga ngga bisa menemani anak di rumah. Ngga ada orang dengan peran banyak yang bisa memberikan performa 100 persen di tiap peran. Kenapa? Karena kita hanya punya 100, bukan 200 atau 300. Jadi, 100 persen itu harus dibagi sama role-role itu.
Misal:
Jatah persentase 100 persen
Role:
- Berkarier 20 persen
- Jadi nanny (ngurus anak) 50 persen
- Tukang bersih2 rumah 10 persen
- Manager keuangan keluarga 10 persen
- Tukang masak 10 persen
Bisa diliat dari porsi persentase di atas, mana yang menjadi prioritas kita, itulah yang persentasenya diperbesar, lainnya disesuaikan. Kita perlu ingat kalau perempuan bukanlah Wonder Woman. Itu hanyalah karakter fiksi.
Berdasarkan pengalaman dan pengamatanku, kita nggak bisa pilih untuk semuanya berjalan sempurna. Karier cemerlang, keluarga terurus dengan sangat baik. Ibu bekerja yang memprioritaskan keluarga akan sering kelelahan di kantor yang membuat dia kesulitan konsentrasi, ketiduran di meja atau membuat kesalahan-kesalahan kecil. Jadi, mungkin perkembangan kariernya lambat (bukannya ngga bisa, tapi mungkin akan lebih sulit. Karena kebanyakan ibu bekerja raganya ada di kantor, tapi pikirannya tetap ke urusan domestik.
Boro-boro ikut internal job posting, memikirkan berat badan anak aja bisa membuat seorang ibu susah tidur dan susah makan). Sementara itu, ibu bekerja yang cemerlang sekali di kantor bisa jadi karena di rumah punya support system yang bagus dan willing untuk memberikan sebagian besar waktunya untuk pekerjaan dan karier. Tapi, itu ada konsekuensinya karena dia jadi akan melewatkan banyak momen sama anak (misalnya performance di sekolah, milestone penting pertumbuhan anak, dll). Nggak ada yang paling benar dan paling salah. Tergantung dari awal kita mau ambil path yang mana dan jalani dengan konsisten dan sungguh-sungguh.
Fact, aku pernah menolak promosi kenaikan jabatan dari kantorku terakhir karena merasa itu bukan prioritasku saat ini. Aku merasa ngga bisa membagi pikiran antara urusan rumah dan tugas-tugas manajerial di kantor. Jadi, kenyataan pahit yang harus diterima ibu bekerja adalah MEMILIH mana yang bisa dia jadikan prioritas dan legowo bahwa salah satunya ngga bisa dia lakukan dengan optimal.
Terdengar menyedihkan, tapi menurutku ketika seorang ibu sudah memilih pathway-nya ke mana, dia pasti akan tetap ngerasa happy dengan pilihannya. Jadi, tetap semangat, untuk semua ibu di luar sana!
Terima kasih ya mba Lucky udah bersedia sharing dan memberikan banyak tips untuk teman-teman BCM.
Overall, bagi kamu yang benar-benar baru memulai dari nol memutuskan untuk berkarir setelah menikah, tak ada kata terlambat untuk memulainya. Untuk kamu yang ingin berkarir sebagai content specialist sama seperti mba Lucky, cek content yang berkaitan dengan bidang creative content di BCM, ya!
Artikel inspirasi lainnya: